Bandar Narkoba Yang Dihukum Mati Di Indonesia

Bandar Narkoba Yang Dihukum Mati Di Indonesia

Kekecewaan Keluarga Brigadir J

Sementara itu, Samuel Hutabarat, Ayah Brigadir Yosua, meminta MA menyampaikan alasan mengurangi seluruh hukuman keempat terdakwa pembunuh anaknya.

Dua bandar sabu di Jakarta Timur (Jaktim), Aryo Kiswanto (35) dan Wastam (60), divonis hukuman mati. Sementara satu anggota komplotan itu, Ferry Setiawan, dihukum penjara seumur hidup. Mereka terlibat jaringan 137 kg sabu.

Hal itu diketahui sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Kamis (27/10/2022). Kasus bermula saat Wastam ditangkap polisi di Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur, pada Desember 2021. Polisi mendapati sabu 137 kg di mobilnya.

Lalu polisi melakukan control delivery di sebuah hotel di Kayu Putih. Wastam kemudian mengontak Aryo dan Fery untuk mengambilnya. Secepat kilat polisi keluar dari persembunyiannya dan menangkap komplotan itu. Akhirnya ketiganya diproses hukum dan diadili dalam berkas terpisah di PN Jaktim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Wastam dengan pidana mati," putus ketua majelis PN Jaktim, Alex Adam Faisal, dengan anggota Riyono dan Said Husein.

Vonis mati juga dijatuhkan kepada Aryo. Sedangkan Ferry Setiawan dihukum penjara seumur hidup. Apa alasan majelis hakim menjatuhkan mati kepada Wastam dan Aryo? Berikut ini penjelasannya:

Menimbang, bahwa selanjutnya penjatuhan hukuman mati menurut Mahkamah Konstitusi (MK) juga menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Maka untuk itu, tingkat konsistensi penegak hukum dan pemerintah agar serius untuk menyikapi serta tanggap terhadap putusan dan/atau kebijakan yang dilakukan oleh majelis hakim dalam memutuskan perkara khususnya kasus narkoba baik pengadilan tingkat pertama, tinggi, Kasasi maupun tingkat Peninjauan Kembali (PK). Agar putusan tersebut benar-benar dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik tanpa ada unsur -unsur yang dapat melemahkan penegakan hukum di Indonesia serta memperhatikan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukuman mati merupakan salah satu tujuan dari pemidanaan untuk mencegah dan menimbulkan efek jera para pelaku tindak pidana.

Bahwa alasan lain pertimbangan putusan MK salah satunya karena Indonesia telah terikat dengan konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi menjadi hukum nasional dalam Undang-Undang Narkotika. Sehingga, menurut putusan MK, Indonesia justru berkewajiban menjaga dari ancaman jaringan peredaran gelap narkotika skala internasional, yang salah satunya dengan menerapkan hukuman yang efektif dan maksimal. Dalam konvensi tersebut Indonesia telah mengakui kejahatan narkotika sebagai kejahatan luar biasa serius terhadap kemanusiaan (extraordinary) sehingga penegakannya butuh perlakuan khusus, efektif, dan maksimal. Salah satu perlakuan khusus itu, menurut MK, antara lain dengan cara menerapkan hukuman berat, yakni pidana mati. Dengan menerapkan hukuman berat melalui pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Bahkan, MK menegaskan, Pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius.22 Dalam pandangan MK, keputusan pembikin undang-undang untuk menerapkan hukuman mati telah sejalan dengan Konvensi PBB 1960 tentang Narkotika dan Konvensi PBB 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, dan Undang-Undang HAM sebab ancaman hukuman mati dalam undang-undang.

Majelis hakim mengutip dari tulisan Umar Anwar Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Khusus Ibukota Jakarta, yaitu "Penjatuhan Hukuman Mati Bagi Bandar Narkoba Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia (Analisa Kasus Hukuman Mati Terpidana Kasus Bandar Narkoba; Freddy Budiman) (Death Penalty for Drugs Dealers on the Aspect of Human Rights (Case Analyses on the Death Penalty of Drugs Dealer; Freddy Budiman)" Setiap manusia mempunyai hak asasi untuk hidup dan kehidupannya. Seperti yang disampaikan di atas bahwa hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lainnya.

Dalam analisa terhadap kasus hukuman mati Freddy Budiman, bahwa Freddy Budiman memiliki hak asasi manusia yaitu hak hidup. Tetapi hak hidup bagi Freddy Budiman dibatasi oleh hak hidup orang lainnya. Apalagi hak hidupnya digunakan dengan cara mengancam nyawa orang lain dengan mengedarkan secara gelap narkoba yang akan membunuh nyawa orang lainnya. Memberikan hukuman mati bagi Bandar Narkoba sesuai dengan ancaman Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sudah tepat dan tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Karena hukuman mati yang dijatuhkan kepada satu orang yang merusak dan menghancurkan orang banyak itu lebih baik daripada dia tetap hidup tapi kehancuran semakin besar bagi orang lain dalam suatu negara.

Simak juga 'Teddy Minahasa Dijebloskan ke Tahanan Narkoba Polda Metro':

[Gambas:Video 20detik]

Freddy Budiman (Foto: Istimewa)

JAKARTA - Hukuman mati seringkali dipandang sebagai salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hukuman jenis ini dinilai sebagai jenis pidana yang paling berat dibandingkan dengan jenis pidana lainnya.

Melansir Jurnal Legislasi Indonesia, penerapan hukuman mati bagi bandar narkoba diperlukan untuk melindungi umat manusia yang jumlahnya jauh lebih banyak. Berikut adalah beberapa gembong narkoba yang dijatuhi hukuman mati.

Gembong narkoba Muhammad Nasir telah 3 kali dijatuhi hukuman oleh pihak pengadilan. Hukuman pertama yang diterimanya pada 2016 adalah 8 tahun penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan negeri (PN) Jakarta Pusat. Kemudian, ia kembali mengontrol penyelundupan 16 kilogram sabu dari Rutan Salemba, dan ditetapkan akan dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan negari (PN) Kalianda pada 2019 lalu.

Baca juga: Divonis Mati, 3 Penyelundup Sabu 1,2 Ton Ternyata Napi yang Masih Jalani Hukuman

Selanjutnya, saat menghuni kamar 4 Blok A LP Rajabasa, Lampung, Muhammad Nasir kembali menjadi dalang di balik penyelundupan 7 ribu butir pil ekstasi yang dimasukan ke dalam ban mobil oleh anak buahnya di luar penjara. 16 Agustus 2021, Pengadilan Negeri Tanjungkarang menjatuhkan vonis nihil pada Muhammad Nasir, yang kemudian diubah menjadi hukuman mati. Kini ia berada di Lapas Nusakambangan menanti eksekusi matinya.

• Hossein Salari Rashid

Hossein Salari Rashid bersama beberapa rekannya ditangkap akibat ketahuan menyelundupkan narkotika jenis sabu-sabu seberat 402 kilogram lewat jalur laut. Operasi penyelundupan ini digagalkan oleh Satgas Merah putih pada 3 Juni 2020. Narkotika senilai Rp400 miliar ini diselundupkan oleh jaringan internasional dengan dikemas menyerupai bola.

Baca juga: 7 Penyelundup 1,2 Ton Sabu di Aceh Divonis Hukuman Mati

Pengadilan Negeri (PN) Cibadak kemudian memvonis 13 orang terdakwa dengan hukuman mati. Namun, pada Senin (17/1/2022), terdapat beberapa anulir yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung (MA) yang mengakibatkan hanya satu orang yang berakhir dijatuhi hukuman mati, yakni Hossein Salari Rashid.

Pengadilan Negeri (PN) Kota Depok menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap tiga bandar narkoba jenis sabu-sabu pada Selasa (14/9/2021). Ketiga terdakwa ini adalah Junaidi, Eko Saputro, dan Zulkarnain yang ketahuan mengedarkan sabu-sabu seberat 267 kilogram.

Barang bukti ini ditemukan di sebuah karung berisi 21 bungkus plastik teh hijau merek Qing Shan, serta sebuah koper berisi 20 bungkus plastik teh bermerek sama.

Baca juga: Di Balik Penandatanganan Surat Hukuman Mati Kartosuwiryo

Kasus gembong narkoba yang dihukum mati tentu tidak akan lepas dari nama Freddy Budiman, yang telah berulang kali terjerat kasus penyelundupan narkoba dan dieksekusi mati di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa tengah pada 29 Juli 2016. Berawal dari penemuan 500 gram sabu di kediamannya, Freddy divonis hukuman penjara selama 3 tahun 4 bulan.

Baca juga: Guru Pesantren Perkosa Belasan Santriwati, Para Korban Tuntut Pelaku Dihukum Mati

Kemudian, ia kembali ditangkap pada tahun 2011 dengan barang bukti berupa 300 gram heroin, 27 gram sabu, dan 450 gram bahan baku ekstasi. Kasus ini membuatnya divonis 9 tahun penjara. Namun, saat ia baru satu tahun mendekam di penjara, Freddy diketahui mengendalikan penyelundupan 1.412.476 butir ekstasi dari China pada Mei 2012. Hal inilah yang membuatnya dijatuhi hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 15 Juli 2013.

Barda Nawawi, Arif, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Effendi, Masyhur, 1994, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Effendi, Masyhur dan Taufan Sukmana Evandi, 2010, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, Bogor: Ghalia Indonesia.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Indonesia, Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP)

Indonesia, Undang–Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap Pertama 1999 - Keempat 2002, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Indonesia, Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Hari Kundoro, Fajar, Faktor – Faktor Penghambat Pelaksanaan Hukuman Mati Bagi Pelaku Kejahatan Narkoba, Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

http://klikbelajar.com/pengetahuan-sosial/pengakuan-dan-jaminan-ham-dalam-deklarasi-internasional/ (Diakses Tanggal 19 Agustus 2016 ).

http://regional.kompas.com/read/2016/01/11/14313191/Buwas.Pengguna.Narkoba.di.Indonesia.Meningkat.hingga.5.9.Juta.Orang (Diakses Tanggal 20 Agustus 2016).

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/434190-rentetan-kasus-hukum-freddy-budiman-si-gembong-narkoba (Diakses Tanggal 20 Agustus 2016).

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt56cf393b411a0/apakah-bandar-narkotika-sama-dengan-pengedar (Diakses Tanggal 20 Agustus 2016).

https://www.academia.edu/19630603/HAM_Internasional (Diakses Tanggal 20 Agustus 2016 ).

Pengertian HAM–Hak Asasi Manusia Menurut Para Ahli (http://www.seputarpengetahuan.com/2015/06/9-pengertian-ham-hak-asasi-manusia-menurut-para-ahli.html (Diakses Tanggal 29 Agustus 2016).

Http://[email protected]/KH.BukhoriYusuf, AnggotaDPRRI/Hukuman-Bagi-Pengedar-dan-Penyalahguna-Narkoba/22 23 -10-2013/firefrox.html. document/. (Diakses Tanggl 29 Agustus 2016).

Pendapat Mahfud MD pada harian Seputar Indonesia (SINDO), 19 Oktober 2012. https://saripedia.wordpress.com/tag/hukuman-mati-menurut-undang-undang/ (Diakses Tanggal 30 Agustus 2016).

https://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia/ (Diakses Tanggal 31 Agustus 2016).

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ef039a2d0c28/hak-hidup-vs-hukuman-mati (Diakses Tanggal 31 Agustus 2016).

http://makassar.tribunnews.com/2015/01/18/ini-tata-cara-hukuman-tembak-mati-di-indonesia (Diakses Tanggal 31 Agustus 2016).

http://www.wawasanpendidikan.com/2016/01/pidana-mati-dalam-kuhp-dan-diluar-kuhp.html (Diakses Tanggal 31 Agustus 2016).

Setengah Penghuni Penjara Indonesia Terpidana Kasus Narkoba (https://m.tempo.co/read/news/2016/03/28/063757367/setengah-enghuni-penjara-indonesia-terpidana-kasus-narkoba (diakses Tanggal 31 Agustus 2016).

%PDF-1.6 %¦éÏÄ 1491 0 obj <> endobj xref 1491 42 0000000016 00000 n 0000001233 00000 n 0000001635 00000 n 0000001763 00000 n 0000002239 00000 n 0000002952 00000 n 0000003747 00000 n 0000004585 00000 n 0000005187 00000 n 0000005811 00000 n 0000006563 00000 n 0000007234 00000 n 0000007846 00000 n 0000008250 00000 n 0000008664 00000 n 0000009089 00000 n 0000009200 00000 n 0000009309 00000 n 0000009459 00000 n 0000010029 00000 n 0000010503 00000 n 0000010924 00000 n 0000011353 00000 n 0000011383 00000 n 0000011960 00000 n 0000012470 00000 n 0000012541 00000 n 0000012837 00000 n 0000012934 00000 n 0000037448 00000 n 0000037717 00000 n 0000038336 00000 n 0000066521 00000 n 0000066798 00000 n 0000067333 00000 n 0000089040 00000 n 0000089325 00000 n 0000089756 00000 n 0000114242 00000 n 0000114522 00000 n 0000114956 00000 n 0000001326 00000 n trailer<<952cd5b143472fcedac04f5a5082d204>] >> startxref 0 %%EOF 1492 0 obj <> endobj 1532 0 obj <

Suara.com - Delapan sekawan dari Taiwan berangkat ke Indonesia untuk menjemput mati. Mereka divonis hukuman tembak karena dituduh mengedarkan sabu 1 ton, meski dipenuhi kejanggalan. Satu orang mati ketika menunggu ganjaran di Lapas Cipinang.

JUMAT di penghujung bulan Mei 2019, merupakan hari yang sibuk bagi banyak orang di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Cipinang, Jalan Bekasi Timur Raya, Jatinegara, Jakarta Timur.

Siang itu menjadi hari spesial karena jadwal kunjungan narapidana dibuka lebih lama dari biasanya, yakni mulai pukul 13.30 WIB sampai 15.00 WIB.

Ribuan orang rela mengantre untuk menjenguk sanak keluarga, teman, atau kolega mereka masing-masing yang menjadi penghuni lapas.

Jurnalis Suara.com, seorang penerjemah bahasa Mandarin bernama Susy Ong, dan pengacara bernama Sojuan Seno Hutabarat, juga ikut dalam barisan antre, untuk menjenguk delapan warga negara Taiwan yang divonis mati di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas tuduhan mengedarkan sabu sebanyak 1 ton.

Delapan terpidana mati ini terdiri dari 5 transporter atau pengirim barang jalur laut yakni Juang Jin Sheng; Sun Kuo Tai; Sun Chi Feng; Kuo Chun Yuan; dan, Tsai Chih Hung.

Sedangkan tiga lainnya merupakan transporter jalur darat yakni Liao Guan Yu, Chen Wei Cyuan dan Hsu Yung Li.

Masuk ke dalam Lapas Kelas 1 Cipinang serasa menyusuri jalur batas teritorial dengan penjagaan yang berlapis dan berseri.

Selepas masuk gerbang utama, pengunjung terlebih dulu harus menunjukkan identitas diri seperti KTP atau SIM. Setelah itu berjalan menuju ruang layanan informasi.

Satu petugas layanan informasi Lapas Cipinang bernama Fauzan, mengonfirmasi kedelapan terpidana mati masih berada di sana, belum dipindah ke Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

“Maaf saya hanya memberi izin kepada kalian maksimal bertemu dengan tiga terpidana. Silakan nama-namanya ditulis pada formulir,” ujar Fauzan, dengan nada menghardik.

Setelah berunding untuk menentukan pilihan, disepakati yang dibesuk adalah napi Chen Wei Cyuan, Sun Kuo Tai, dan Liao Guan Yu.

Ketiganya bisa merepresentasikan transporter laut dan transporter darat dalam kasus sabu 1 ton.

Setelah formulir izin penjengukan disahkan petugas, barulah pengunjung dibolehkan menyusuri lorong menuju ke dalam lapas.

Seluruh barang elektronik seperti telepon genggam dan perekam suara harus ditinggal di tempat penitipan. Sementara buku catatan dan pulpen dibolehkan dibawa masuk.

Seusai melewati alat pendeteksi metal dan penggeledahan manual, tibalah di satu ruangan berbentuk persegi panjang berukuran sekitar 25 x 45 meter atau seluas lapangan futsal.

Memasuki ruangan tersebut, hidung serasa dicucuk bau keringat ratusan pengunjung yang tumpah ruah dalam satu ruangan.

Saking sesaknya, sebagian mereka memilih duduk di teras ruangan. Mereka duduk lesehan menggunakan alas seadanya.

Hal itu masih ditambah dengan bising suara yang dihasilkan dari obrolan para pengunjung. Setiap pembesuk dan yang dibesuk, harus berbicara keras dan mendekatkan wajah untuk berkomunikasi satu sama lain.

Selang 20 menit, para terpidana mati datang diantar petugas. Dari tiga yang diminta, hanya dua orang muncul: Chen Wei Cyuan dan Sun Kuo Tai.

Berpakaian kaos oblong dan bersandal jepit, mereka datang menghampiri, berjabat tangan dan beramah tamah menggunakan bahasa Mandarin. Semua terjadi secara alami.

Chen Wei Cyuan merupakan pria muda berusia 22 tahun. Saat itu dia menggunakan kaos berwarna merah dan berkaca mata.

Sedangkan Sun Kuo Tai yang berusia 38 tahun, merupakan pria berbadan kekar dan tinggi. Ia menggunakan kaos berwarna hitam. Mereka tampak segar dan gemuk.

Setelah bergegas mencari tempat duduk yang sekiranya tidak terlalu ramai dan bising, penerjemah bahasa Mandarin, Susy Ong, mulai bertanya kepada kedua terpidana mati tersebut.

Susy menanyakan kondisi kesehatan mereka setelah dipindah dari Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang ke Lapas Kelas 1 Cipinang.

Mereka menjawab pertanyaan tersebut dengan nada meledek, “Baik, alhamdulillah kami sehat,” ujar Sun Kuo Tai dengan raut wajah tersenyum.

Mendengar jawaban tersebut, perbincangan menjadi cair, semua tertawa lepas.

Mereka kemudian menceritakan bersama tujuh terpidana mati lainnya menempati kamar yang berbeda.

Ketiga transporter jalur darat penyelundupan sabu, menempati lantai 3 TPT. Sedangkan para transporter laut menempati lantai 2 ruang 216.

Kalau sore hari, mereka sering melakukan olahraga di lapangan terbuka yang letaknya berada di tengah Lapas Kelas 1 Cipinang.

Namun, mereka mengakui tidak cocok dengan menu masakan yang diberikan kepada para terpidana.

“Kalau mau makan enak, harus bayar. Padahal kami tidak punya uang,” ujar Sun Kuo Tai.

Mereka juga menceritakan selama dalam penjara, pernah dijenguk oleh keluarga dari Taiwan.

Melalui pertemuan itu, mereka mengetahui keluarga sudah melakukan banyak upaya meminta perlindungan dari kepolisian Taiwan agar delapan sekawan di Indonesia tak dihukum mati. Tapi semua sia-sia.

“Saya masih berkomunikasi dengan keluarga di Taiwan. Mereka di Taiwan sudah berusaha agar kami tak dihukum mati. Tapi hal itu ditolak, karena kami berurusan dengan kasus narkotika,” ujar Sun Kuo Tai seperti yang disebutkan oleh penerjemah.

Chen Wei Cyuan tiba-tiba menyela di tengah obrolan. Ia menjelaskan, berdasarkan keterangan keluarga mereka, kepolisian Taiwan berhasil meringkus tiga orang yang memberikan pekerjaan mengantar sabu 1 ton ke Indonesia.

Orang tersebut bernama Yen Po Chun alias Aphao, Yen Hung Chi alias Apin, dan Mr X. Ketiganya, sebelumnya juga sudah ditetapkan sebagai buronan oleh Polri.

“Keluarga kami memberi tahu, dua bersaudara yang memberi pekerjaan kepada kami sudah ditangkap di Taiwan. Mereka bahkan diproses hukum di persidangan Taiwan. Mengapa hal tersebut tidak menjadi pertimbangkan agar hukuman mati kepada kami dianulir,” tanya Chen Wi Cyuan.

Kematian Sun Chih Feng

Obrolan bersama para terpidana mengalir. Sun Kuo Tai kemudian teringat sesuatu yang sebenarnya ingin ia sampaikan.

Raut wajahnya menunjukkan orang yang lupa akan suatu hal. Kemudian, sembari menghela nafas, ia menceritakan kabar duka yang terjadi di Lapas Kelas 1 Cipinang.

Ia menuturkan, satu dari delapan terpidana mati sebenarnya sudah meninggal dunia sebelum dieksekusi mati.

Seorang terpidana yang meninggal itu bernama Sun Chih Feng (41), pria yang juga merupakan kakak kandung dari Sun Kuo Tai.

Kabar tersebut terbilang mengagetkan bagi Susy Ong yang sejak lama menjadi penerjemah mereka, dan juga sang pengacara, Sojuan Seno Hutabarat. Sebab, keduanya tak diberi tahu soal kematian tersebut.

“Kakak saya meninggal di sini (lapas) karena jantungnya sakit. Sempat dibawa ke rumah sakit Cipinang, tapi nyawanya tidak tertolong. Jenazahnya kemudian dikremasi dan abunya dikirim ke Taiwan,” ujar Sun Kuo Tai kepada penerjemah.

Sojuan Seno Hutabarat lantas mengambilalih pembicaraan, dengan menyampaikan sejumlah informasi kelanjutan proses hukum.

Ia menyampaikan, upaya permohonan banding telah diserahkan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, majelis hakim menolak banding mereka.

Sun Kuo Tai lantas menunjukkan kekecewaan setelah mendapat informasi dari Juan. Ia mengakui sudah tidak memiliki harapan dalam hidupnya.

Dia mengungkapkan, harapan untuk mendapatkan keringanan hukuman hanya akan berakhir sia-sia.

“Pascadivonis hukuman mati, kami semua putus asa. Kami merasa tidak semestinya mendapat hukuman mati,” ujarnya.

Sayup-sayup, suara petugas lapas melalui pelantang suara memberikan peringatan agar semua pengunjung harus segera meninggalkan lapas.

Obrolan para terpidana mati itu juga ikut terhenti, meski baru berlangsung 20 menit.

Susy sang penerjemah melontarkan satu pernyataan pamungkas, apa yang hendak para terpidana sampaikan kepada publik melalui jurnalis?

Sun Kuo Tai buru-buru menuturkan kepada Susy, mengenai vonis hukuman mati terhadap dia dan kawan-kawannya tak adil.

Sejak awal, kata dia, aparat penegak hukum melakukan penangkapan terhadap mereka secara semena-mena.

Sun Kuo Tai juga mengakui dipukuli di kantor kepolisian selama kurang lebih tiga hari. Mereka baru berhenti dipukuli setelah menuruti perkataan seorang penerjemah bahasa Mandarin yang disewa oleh pihak aparat.

“Kami (transporter laut) ditangkap di perairan lepas tanpa barang bukti sebutir pun sabu. Kemudian kami digebuki agar mengaku sesuai kata aparat. Bukti pemukulan itu ada di foto BAP,” tukasnya.

CATATAN REDAKSI: Seri liputan 8 sekawan Taiwan yang divonis hukuman mati di Indonesia ini mendapat hadiah Fellowship dari Kedutaan Besar Norwegia dan Aliansi Jurnalis Independen Jakarta. Semua reportase dilakukan oleh Erick Tanjung dan Hartanto Ardi Saputra.

TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai keputusan Mahkamah Agung (MA) membatalkan hukuman mati terdakwa kasus pembunuhan berencana, Ferdy Sambo, tidak mengagetkan.

Diketahui, kasasi MA memutuskan mengubah hukuman Ferdy Sambo dari hukuman mati menjadi penjara seumur hidup.

Selain Ferdy Sambo, tiga terdakwa lain kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) juga mendapat keringanan hukuman.

Istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dari 20 tahun menjadi 10 tahun.

Lalu Kuat Ma'ruf, dari 15 tahun menjadi 10 tahun.

Juga Ricky Rizal dari penjara 13 tahun menjadi 8 tahun.

"Keputusan MA ini sebenarnya sudah tidak mengagetkan lagi di publik. Pola-pola seperti ini sudah sering terjadi, bagaimana seorang elite entah di lembaga apapun di level tertinggi kemudian dianulir," ungkap Bambang dalam talkshow Overview Tribunnews, Kamis (10/8/2023).

Baca juga: Pakar Ingatkan Publik Hormati Putusan Ferdy Sambo

Menurutnya, publik sudah memprediksi hukuman Ferdy Sambo akan diperingan dalam tingkat tertentu.

"Tanpa ada pengawalan dari publik, vonis-vonis seperti ini sudah menjadi prediksi oleh publik," ujarnya.

Bambang mengatakan putusan MA jauh dari rasa keadilan.

"Ya, sangat jauh dari rasa keadilan, memang sejak awal kalau kita melihat, keputusan-keputusan hanya sekadar bombastis saja, mungkin hanya terkait dengan vonis pada Ferdy Sambo cs sangat tinggi, tapi sangat jauh berbeda dengan vonis yang diberikan Eliezer misalnya, padahal Eliezer terbukti pelaku penembakan."

"Makanya keputusan-keputusan sejak awal sudah sangat janggal, relatif memunculkan spekulasi ada skenario-skenario lain di luar kepentingan hukum."

"Dan ini sangat mencederai rasa keadilan," ujar Bambang.

Baca juga: Eks Kabareskrim Yakin Ada Main di Balik Putusan MA Sunat Hukuman Ferdy Sambo Cs, Ini Alasannya